mY_ReFLeCtion

Friday, October 12, 2007


Selamat Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1427 H
Minal Aidin Wal Faidzin Taqabalallahu minnaa wa minkum

Jemari Sering kali salah ketik
Aksara dan kata mungkin sering tak terbaca, terlalu "maksa" bahkan tanpa makna
Mata bisa salah lihat
Kuping bisa salah dengar
Mulut bisa salah bicara
Hati bisa salah sangka
Di hari yang fitri ini
Mohon maaf lahir dan bathin

Sejalan dengan berlalunya Ramadhan tahun ini
Kemenangan akan kita gapai
Dalam kerendahan hati ada ketinggian budi
Dalam kemiskinan harta ada kekayaan jiwa
Dalam kesempatan hidup ada keluasan ilmu
Hidup ini indah jika segala karena ALLAH SWT

Jika aku tak memberi maaf
Bukan karena aku tak mau memberi maaf
Tetapi engkau tak punya salah
Maaf apa yang harus kuberikan?

Jika aku memberi maaf
Bukan karena engkau meminta maaf
Tetapi karena sepenuh maaf aku berikan
Setulus hati, seikhlas niatku
Meski tanpa kau minta

Walau Hati `gak sebening XL dan secerah MENTARI.
Banyak khilaf yang buat FREN kecewa,
kuminta SIMPATI-mu untuk BEBAS-kan diri dari ROAMING dosa,

kita hanya bisa angkat JEMPOL padaNya yang selalu buat kita HOKI dalam mencari kartu AS dan STAR ONE selama hidup, kita harus FLEXI-bel untuk menerima semua pemberianNYA dan menjalani MATRIX kehidupan ini… dan semoga amal kita tidak ESIA-ESIA.
MOHON MAAF LAHIR DAN BATHIN

Bryan Adams said “Please Forgive Me..”
Rio Febrian said “Ooo.. Maaf, maafkan diriku..”
Ruben Studdard said “Well this is my sorry for 2004.”
Yuni Shara said “Mengapa tiada maaf bagiku.”
Elton John said “Sorry seems to be the hardest word.”
Mpok Minah said “Maaf.. bukannya saya ngak ngerti.. bukannya saya nggak sopan..”
I said “Minal Aidin wal faizin..”
Khusus Yang msih Suka nonton sinetron (abg) BERTOBATLAH KARENA KIAMAT SUDAH DEKAT

*****

posted by zAeN@L tHea .... at 9:59 AM 0 comments

Wednesday, October 03, 2007


PUASA DAN KECERDASAN SOSIAL


Tak terasa ibadah puasa yang kita lakukan sudah memasuki minggu ketiga atau sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan. Ibarat permainan sepak bola saat-saat ini sudah memasuki masa injury time, di mana, stamina sudah terkuras, konsentrasi pun kian berkurang. Maka bagi yang pada "babak pertama" sudah unggul (dengan memaksimalkan semua amal ibadah puasa), tugas selanjutnya adalah bagaimana mempertahankan keunggulannya. Bagi yang awalnya "biasa-biasa saja" maka tinggal bagaimana bisa memenangkan pertandingan hingga peluit akhir dibunyikan. Semantara bagi yang tertinggal di babak awal tantangan selanjutnya adalah bagaimana bisa menyamakan kedudukan dan selanjutnya dapat memenangkan pertandingan. Sayangnya yang sering terjadi adalah kita selalu kalah pada masa injury time ini.

Berbeda dengan Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya terdahulu, yang lebih berkonsentrasi untuk banyak beri'tikaf di masjid pada sepuluh hari tekahir Romadhon, kita selaku umatnya malah lebih banyak "beri'tikaf" di mal-mal dan pusat-pusat perbelanjaan. Jalanan yang biasanya agak lengang menjadi macet akibat banyaknya orang yang hilir mudik untuk berbelanja baju baru dan beragam kebutuhan menyambut lebaran "hari kemenangan".

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, dengan puasa yang "seadanya" benarkah kita telah mendapatkan kemenangan ?, meski puasa ini telah kita lakukan berulang kali kenapa rasanya kehidupan kita dari tahun ke tahun terasa makin sulit, harga-harga kebutuhan pokok semakin melangit, angka pengangguran terus bertambah, korupsi kian merajalela, hingga bencana alam tak kunjung berakhir, benarkah puasa yang kita lakukan tak memberikan efek positif pada kehidupan kita setelahnya?, atau adakah yang salah dengan puasa kita ?

Dalam sebuah karya monumentalnya ESQ (Emotional Spiritual Quotient ; Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual hal. 222) Ary ginanjar agustian mengangkat sebuah hasil riset yang dilakukan oleh Danis Goelman seorang ahli dan peneliti tentang kecerdasan emosi, sebagai berikut : Anak-anak berusia empat tahun di sebuah taman kanak-kanak di Stanford Inggris disuruh masuk ke dalam sebuah ruangan seorang demi seorang, sepotong kue marshmallow diletakkan di atas meja di depan mereka, “kalian boleh makan kue ini jika kalian mau, tetapi jika kalian memakannya sekembali saya kesini, kalian berhak mendapatkan sepotong lagi” ujar Goelman.

Sekitar empat belas tahun kemudian, sewaktu anak-anak tersebut lulus sekolah lanjutan tingkat atas, anak-anak yang dahulu langsung memakan marshmallow dibandingkan dengan anak-anak yang mampu menahan keinginannya untuk memakan saat itu dan mendapat dua bagian kue, mereka yang langsung melahap marshmallow dibandingkan dengan mereka yang tahan menunggu, diketahui lebih cenderung tidak tahan menghadapi stress, mudah tersinggung dan lebih mudah berkelahi, dan juga kurang tahan uji dalam mengejar cita-cita mereka. Meskipun demikian yang lebih mengejutkan lagi bagi para peneliti adalah munculny efek yang benar-enar tak terduga adalah ternyata anak-anak yang mampu dalam uji marshmallow tersebut, dibandingkan dengan yang “tidak lulus uji”, memperoleh nilai SAT-nya lebih tinggi rata-rata 210 lebih tinggi (dari nilai tertinggi 1.600) dalam ujian masuk perguruan tinggi.

Saat mulai beranjak dewasa perbedaan di antara mereka semakin mencolok. Di penghujung usia dua puluh tahunan mereka yang lolos uji marshmallow saat anak-anak, tergolong sebagai orang-orang yang cerdas, berminat tinggi dan lebih mampu berkonsentrasi. Mereka lebih mampu melakukan hubungan yang tulus dengan orang lain, lebih handal, bertanggung jawab dan lebih tahan dalam menghadapi stress. Sebaliknya, mereka yang “tidak lulus” uji marshmallow menunjukkan kepribadian yang sebaliknya, kemampuan kognitif mereka kurang dan kecakapan emosinya sangat rendah, tidak sabar, sulit menghadapi stress, dan kurang memiliki toleransi terhadap sesama.

“Mampu mengendalikan hawa nafsu” adalah inti dari “tes” yang diberikan Goelman dalam penelitian yang dilakukannya, dan efeknya terbukti secar ilmiah sungguh sangat luar biasa bahkan di luar dugaan. Menahan dan mengendalikan hawa nafsu adalah hanya bagian kecil dari ritual puasa. Dalam perspektif hujjatul Islam Imam Al-ghazali puasa semacam ini adalah termasuk kategori puasanya orang awam yang berpuasa sekedar untuk menahan diri dari rasa lapar dan dahaga saja, sementara anggota tubuh lainnya tidak “ikut” berpuasa, mulutnya masih suka membicarakan orang lain, lisannya masih suka berdusata dan berkata kotor dan terkadang masih suka marah saat menghadapi masalahdengan orang lain, sementara mata dzohir masih suka melihat aurat yang bukan mahromnya dan mata batinnya masih terbuai dengan godaan-godaan duniawi, puasa semacam ini tentu memiliki nilai yang”biasa-biasa” saja bahkan kurang dan nyaris tidak memiliki efek apa-apa terhadap kehidupan spiritual dan sosialnya. Orang yang berpuasa seperti ini bisanya adalah masyarakat awam yang umumnya kurang memiliki ilmu dan pemahaman yang mendalam terhadap agamanya, sehingga bagi golongan ini puasa tak leih dari rutinitas tahunan yang harus mereka jalankan. Jenis puasa kedua adalah puasanya “orang khusus” yang berpuasa tidak sekedar menahan rasa lapar dan haus tetapi puasanya sudah setingkat di atas puasanya orang awam, di mana seluruh anggota tubuhnya juga ikut “berpuasa” orang yang berpuasa semacam ini ingin puasanya berjalan sebaik-baiknya dengan harapan bisa mendapatkan pahala dan balasan surga dari Allah SWT di akhirat kelak. Puasa semacam ini adalah puasanya “orang taat hukum” yang tentu lebih bernilai di sisi Allah dibanding puasa jenis pertama, selain itu puasa ini memiliki efek yang positif baik secara spiritual maupun sosial karena lebih kontemplatif dan menutup ruang konflik horisontal dengan sesama manusia, orang yang yang mungkin mampu melakukan semacam ini adalah para ulama dan orang-orang soleh. Sementara puasa jenis ketiga dalam perspektif Al-ghazali adalah puasa “khususil khusus” atau puasa jenis VIP di mana ibadah puasa dilakukan bukan lagi untuk mengejar pahala atau balasan berupa kenikmatan uhkrowi yaitu surga, tetapi puasa yang dilakukan lebih sebagai bentuk ketaatan seorang hamba kepada Allah SWT yang dikejar hanya keridhoaan-Nya, karena jika keridhoan Allah SWT sudah ia dapati jangankan pahala dan ampunan surga dan segala isinya pun pasti akan Allah berikan kepada hamanya, dan puasa semacam ini hanya mungkin dilakukan oleh para nabi dan para Wali-wali Allah SWT, yang zuhud dan sudah tak tergoda lagi oleh kenikmatan materi duniawi.

Bayangkan dengan puasa jenis ‘”model awam” saja seperti dari hasil penelitian Danis Goelman di atas, mampu mementuk manusia-manusia yang tidak hanya cerdas secara emosional dan intelektual, apatah lagi jika umat muslim yang menjadi bagian terbesar dari angsa ini bisa melakukan puasa jenis kedua yang tidak hanya menahan lapar dan haus tetapi menahan seluruh anggota tubuh dan hatinya dari perbuatan-perbuatan tercela, maka saya sangat yakin bangsa ini akan bangkit menjadi bangsa yang lengkap yang sehat secara emosional, intelektual, dan spiritual.

Seandainya kebiasan puasa model seperti ini bisa kita bawa dalam kehidupan sehari-hari dalam sebelas bulan setelahnya, maka tidak akan ada lagi korupsi, karena puasa melarang orang untuk berbohong apalagi menipu rakyat, tak akan ada lagi kasus pelecehan seksual dan pemerkosaan, karena dalam berpuasa orang yang memandang dengan syahwat seksualnya dapat menghilangkan pahala puasa, dan seandainya “ritual” puasa ini kita terpakan dalam kehidupan sehari-hari maka jumlah orang miskin akan berkurang karena zakat seagai bagian dari ibadah puasa mengajarkan kita untuk senantiasa berbagi dengan kaum miskin dan anak yatim. Karenanya mudah-mudahan puasa yang kita lakukan di tahun ini dan tahun-tahun selanjutnya bukan hanya rutinitas tahunan yang datang dan pergi begitu saja, tetapi juga dapat memerikan efek dan manfaat positif bagi kehidupan sosial berbangsa dan bernegara, sehingga mimpi Indonesia menjadi negara yang gemah ripah loh jinawi baldatun thoyyiatun wa robbun ghofur alias negeri yang makmur sejahtera, dan diampun Allah SWT bisa tercapai. Wallahu A’alam

posted by zAeN@L tHea .... at 5:33 PM 0 comments