mY_ReFLeCtion

Monday, August 07, 2006

jangan ngegosip mulu !


Mengembalikan fungsi pers pada “Khittahnya”


Pro kontra mengenai “kehalalan produk infotainment” masih terus berlanjut hingga saat ini, meski belakangan mulai mereda karena pihak yang mengeluarkan fatwa yaitu para ulama NU ”merevisi” pernyataannya dengan mengatakan bahwa yang mereka haramkan adalah news content atau isi beritanya bukan pada infotaimentnya sebagai sebuah hasil karya jurnalistik. Untuk menyelamatkan ”kepentingan”nya kamis malam kemarin, organisasi kewartawanan yaitu PWI melalui Hans Muller sebagai ketua departemen infotainment PWI sampai perlu melakukan konferensi pers untuk menegaskan kembali bahwa fatwa haram yang dikeluarkan oleh PB NU tersebut adalah menyangklut isi berita infotainment tersebut bukan pada infotainment, terebih sebelumnya memang PWI telah mengakui wartawan infotainment sebagai bagian dari anggota PWI.

Namun demikian pro kontra mengenai keberadaan infotainment sendiri masih tetap perlu menjadi perhatian kita bersama terutama menyangkut news value atau nilai berita yang dipublikasikan atau lebih jauh mengenai seberapa pentingnya sebuah tayangan infotainment serta apa manfaat yang bisa diambil oleh masyarakat dari tayangan-tayangan infotainment yang marak di televisi. Ini juga berhubungan langsung dengan perkembangan budaya masyarakat Indonesia.

Seperti kita ketahui dalam rentang waktu kurang lebih lima tahun belakangan ini acara-acara infotainment menjadi salah satu tayangan yang membanjiri hampir semua stasiun televisi di Indonesia (kecuai TVRI dan Metro TV), baik yang diproduksi secara in housea oleh stasiun televisi tertentu ataupun yang dibeli dari sebuah production house. Hingga saat ini sudah lebih dari seratus judul program infotainment yang pernah dan masih tayang di layar televisi, ini menunjukkan bahwa tayangan-tayangan Infotainment cukup digemari oleh masyarakat Indonesia. Infotainment ibarat garam yang harus selalu ada dalam setiap acara televisi dan menjadi salah satu acara unggulannnya, terlebih karena secara bisnis acara-acara semacam ini memang cukup menguntungkan dan memiiki rating yang cukup tinggi.

Di sisi lain keberadaan infotainment bagi kalangan selebritis sangat diutuhkan, infotainment dianggap bisa menjadi jembatan yang menghubungkan antara penggemar (fans) dengan arts atau selebritis yang diidolakannya, selain itu infotainment juga bisa dijadikan sebagai ajang promosi secara gratis para artis dan selebritis, terutama bagi mereka yang baru saja memasuki dunia entairtainment (dunia hiburan) atau bagi mereka yang sering disebut sebagai ”sekuter” alias selebritis kurang terkenal, infotainment menjadi media yang sangat efektif mengangkat pamor dan mendongkrak popularitas mereka, maka tak heran dengan adanya infotainment kita mendengar artis yang baru satu dua kali main sinetron mendadak menjadi sangat terkenal akibat tidak kriminal yang dilakukannya, alhasil infotainment bisa menjadi jalan pintas untuk meraih popularitas.

Namun dalam perkembangannya berita-berita yang ditayangkan dalam infotainment menjadi sangat kebablasan bahkan cenderung menganggu privasi masyarakat terutama para publik figur seperti para artis dan selebritis serta para pejabat tinggi negara atau keluarganya. Maka yang sering muncul kemudian adalah tayangan-tayangan yang mengangkat seputar masalah perselingkuhan, perceraian, dan sengketa keluarga, bahkan dalam beberapa kasus perceraian selebritis, (diakui atau tidak) tayangan infotainment ikut andil dalam memperkeruh suasana konflik rumah tangga para selebritis dan cenderung “mengompori” kedua belah pihak yang sedang berseteru sampai akhirnya terjadilah perceraian yang sesungguhnya tak pernah diinginkan tersebut. Dalam konteks ini sesungguhnya pers (Koran, televisi dan sebagainya) seolah-olah telah berubah fungsi menjadi seperti KUA (Kantor Urusan Agama), atau pengadilan agama yang mengurusi masalah perkawinan. Maka sangat wajar jika kemudian banyak pihak yang merasa sangat prihatin dengan tayangan-tayangan ifotainment di televisi termasuk juga tak sedikit para selebritis yang merasa gusar dan sangat terganggu karena merasa privasinya terganggu, dan puncaknya adalah ketika salah satu organisasi keagamaan terbesar di negeri ini yaitu Nahdatul Ulama (NU) dalam munasnya di asrama haji Sukolilo Surabaya beberapa waktu lalu mengeluarkan fatwa haram terhadap tayangan-tayangan infotainment, karena dianggap sebagai tayangan ghibah yaitu perbuatan membuka dan menyebarluaskan aib seseorang kepada halayak ramai. Selain itu tayangan semacam ini dianggap dapat merusak moral dan budaya bangsa.

Ada beberapa hal yang membuat acara-acara infotainment bisa survive bahkan tergolong sukses tayang di televise. Pertama, diakui atau tidak bahawa saat ini, industri pertelevisian di Indonesia masih dikendalikan oleh kaum kapitalis yang melalui beragam tayangannya hanya ingin mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya, tanpa memperhatikan seperti apa dan bagaimana tayangan yang disajikan kepada masyarakat, mereka tak lagi memikirkan dampak positif dan negatif yang mungkin ditimbulkan oleh tayangan yang mereka sajikan kepada masyarakat. Bagi mereka tak ada kamus lain, selain bagaimana caranya sebuah tayangan mendapatkan rating yang tinggi dengan harapan akan memperoleh pemasukan iklan yang banyak, dan dengan iklan yang semakin banyak, maka sudah pasti akan semakin banyak pula keuntungan yang akan mereka dapatkan. Istilah rating is god rupanya telah menjadi slogan yang sangat pas bagi mereka (kaum kapitalis). Dalam konteks ini, tayangan-tayangan televisi hanya menjadi alat “tekno kapitalis”, yang tak lebih hanya dijadikan sebagai mesin pencetak uang.
Dengan paradigma seperti ini maka kemudian lahirlah tayangan-tayangan yang kurang baik bahkan tidak mendidik (uneducated), seperti tayangan kekerasan yang secara vulgar mempertontonkan ceceran darah lewat acara-acara kriminal, film-film action, film-film mistik yang menjual hantu jin dan genderewo disertai kisah-kisah heroik para pemburu hantu, serta termasuk di dalamnya adalah acara-acara gosip selebritis yanng kita kenal sebagai infotainment.

Sama halnya dengan acara-acara televisi lainnya, dari sisi busnis, tayangan-tayangan infotainment juga mengalami persaingan yang sangat ketat. Dengan beragam slogan yang diusung muai dari “tayangan gosip paling hot”, “tayangan gosip paling blak-blakan, sampai “pelopor jurnalisme infotainment”, para pembuat acara infotainment berlomba-lomba menampilkan gosip-gosip sebaik mugkin bahkan tak jarang mereka melakukan segala cara untuk mendapatkan gosip yang paling eksklusif, tujuannya tak lain adalah agar bisa mendongkrak rating dari acara tersebut. Maka tak aneh jika dalam perjalanannya peristiwa yang sesungguhnya sangat tidak diinginkan (menyedihkan) bagi pelaku dan tak perlu diketahui oleh publik seperti kasus perceraian, perseingkuhan sengketa keluarga dan sebagainya, bagi para wartawan infotainment justru menjadi hal yang sangat menarik untuk diberitakan, dengan istilah lain bagi para wartawan infotainment Bad news is Good news.

Kedua, budaya gosip ini juga dipengaruhi oleh budaya pop atau tepatnya budaya barat. Era komunikasi global yang ditunjang dengan perangkat teknologi tinggi semacam TV kabel dan parabola memungkinkan setiap orang untuk mengetahui berita-berita disunia termasuk di antaranya berita-berita terhangat mengenai gosip-gosip tantang kehidupan para selebritis dunia. Seperti diketahui, para selebriti dunia merupakan figur yang selalu dikejar-kejar oleh para “kuli tinta” yang lebih dikenal sebaga paprazzi, bahkan tak hanya para artis para atlit semacam David Beckham dan Denis Rodaman, juga menjadi sasaran empuk para wartawan untuk mengatehui kehidupan pribadinya. Dengan slogan “people right to know” Para kuli tinta ini bergerilya mengikuti setiap gerak-gerik kehidupan para selebritis ini, mulai dari masalah, keularga, hobi, sampai masalah affair mereka diburu oleh para paparazzi ini untuk di beritakan di media massa baik melalui koran, radio, televisi, bahkan internet. Karena itu dalam era globalisasi yang hampir tanpa batas ini (borderless), para pemilik media tak segan-segan untuk meniru (menjiplak) tayangan-tayangan infotainment dari dunia luar (barat), baik dari segi, isi, format, bahkan teknik mendapatkan berita yang diinginkan.

Hal ketiga yang menyebabkan maraknya tayangan infotainment di televisi adalah menyangkut masalah “pengalihan emosi” massa. Bagi sebagian masyarakat Indonesia, tayangan-tayangan infotainment boleh jadi menjadi salah satu terapi mujarab dalam mengalihkan bahkan mengurangi permaslahan hidup yang sedang dihadapi. Dalam kondisi ekonomi masyarakat yang serba sulit di mana, harga BBM, tarif istrik dan harga sembako terus naik, lahan pekerjaan yang sangat terbatas, dan biaya pendidikan yang menjulang tinggi, serta setumpuk permasalahan hidup lainnya menciptakan masyarakat yang secara psikologis mengalami depresi yang cukup berat, sehingga mudah marah dan terbakar emosinya, dan mudah melakukan tidakan kriminal bahkan, bahkan belakangan semakin banyak orang yang mengakhiri hidup dengan jalan pintas ; bunuh diri !. Dalam kondisi seperti ini televisi menjadi pilihan masyarakat untuk sedikit melupakan beban hidup yang mereka alami, salah satu cara mengurangi beban hidup yang ada adalah dengan menonton acara-acara televisi seperti film, musik, acara-acara olah raga, termasuk tayangan infotainment, alhasil infotainment menjadi salah satu obat mujarab guna mengurangi beban psikologis akibat kesulitan hidup yang dihadapi.

Karena itu, untuk menciptakan media massa yang bebas dan bertanggung jawab serta memiliki concern yang besar terhadap moral dan budaya bangsa, maka ada tiga hal yang perlu dilakukan, pertama mengembalikan pers pada “khittahnya”. Pers dalam arti yang luas yang meliputi media massa cetak (seperti koran dan tabloid) dan media elektronik (radio dan televis) adalah lembaga sosial yang merupakan sub sistem dari sistem bernegara (Effendy ; 2000 ;86). Pers bahkan juga dianggap sebagai pilar keempat demokrasi setelah lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif. Pers yang profesional memiliki fungsi utama sebagai media pendidikan (mass education/Ta’dib al ummah), di samping sebagai media pemberi informasi dan media hiburan. Sebagai media massa yang berfungsi mendidik masyarakat pers dengan jangkauannya yang luas, menjadi media yang sangat penting dalam menciptakan masyarakat yang cedas dan berbudaya (civilized). Terlebih dalam konteks masyarakat Indonesia yang sedang berada dalam masa transisi dari negara yang otoriter menuju negara yang domokratis, keberadaan pers menjadi sangat penting sebagai media pendidikan untuk pembelajaran masyarakat mengenai nilai-nilai demokrasi dan civil society. Lebih dari itu di negara yang sedang berusaha memberantas kasus-kasus korupsi, pers melalui para jurnalis sebagai ujung tombaknya bisa menjadi media yang efektif terhadap pengungkapan kasus-kasus korupsi, dan ini bisa dilakukan dengan melakukan jurnalisme investigatisi dalam membongkar kasus-kasus korupsi yang memang sudah mengakar di negeri ini.

Kedua, kita perlu mulai mengembangkan apa yang disebut sebagai “jurnalisme nurani”, di mana para jurnalis bisa menggunakan “mata pena” dan “mata hati” secara bersamaan, maksudanya para jurnalis sebagai orang yang mencari, mengolah dan memberikan informasi kepada masyarakat luas, perlu juga mempertimbangkan hal-hal apa yang perlu diberitakan dan maslah apa yang tidak perlu diberitakan kepada masyarakat, terutama menyangkut privasi nara sumber, baik para artis ataupun masyarakat biasa, sehingga informasi yang dibuat tidak melanggar privasi dan batas-batas moral yang ada dalam masyarakat, namun demikian hal ini tak lepas dari masalah profesionalisme dan para jurnalis yang bersangkutan, karena itu dengan semakin banyaknya jumlah dan ragam media massa di Indonesia, para wartawan perlu dibekali pengetahuan yang cukup mengenai ilmu dan kode etik jurnalistik sehingga bisa tercipta pers yang bebas dan bertanggung jawab.

Ketiga mengingatkan kepada masyarakat agar dapat memilah dan memilih tayangan yang disajikan televisi. Dalam kasus berita-berita di infotainment kita perlu mengingatkan masyarakat umum bahwa apapun bentuknya mendengarkan, membicarakan dan menggujingkan aib orang lain adalah hal yang tidak baik bahkan haram menurut pandangan agama, karena itu fatwa yang dikeluarkan oleh NU sudah tepat bahkan jika perlu fatwa tersebut diberlakukan secara luas tidak saja diperuntukkan bagi kalangan nahdiyyin tapi juga bagi semua umat islam, sehingga dengan iklim pers yang bebas dan betranggung jawab kita berharap bisa memiliki masyarakat yang cerdas, dan berkukalitas.
Wallahu A’alam.

Zaenal Muttaqien
posted by zAeN@L tHea .... at 6:01 PM 0 comments