mY_ReFLeCtion

Wednesday, December 13, 2006

Ayo poligami


Poligami ? Yuuuuuuuuuuuuuuu
Pro kontra mengenai wacana poligami masih terus berlangsung, setelah pada hari Selasa (5/12) lalu, Menneg Pemberdayaan Perempuan, Meutia Hatta dan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama Nazaruddin Umar menemui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Kepresidenan Jakarta guna membicarakan tentang pembatasan poligami juga diberlakukan untuk non PNS (pejabat negara, tokoh masyarakat). Bahkan kabar terakhir menyebutkan bahwa Menneg PP akan segera membentuk pansus untuk membahas revisi PP No 10/1983 tersebut.
Entah disengaja atau hanya “kebetulan” pertemuan tersebut terjadi tak lama setelah sehari sebelumnya da’i kondang KH. Abdullah Gymnastiar (Aa Gym) ditemani istrinya Ninih Muthmainnah dalam sebuah konfrensi pers mengaku bahwa dirinya telah menikah untuk kedua kalinya dengan seorang janda bernama Rini sekitar tiga bulan yang lalu. Namun kesan bahwa pengakuan Aa Gym menjadi faktor pemicu terjadinya “pertemuan mendadak” anatara menteri dan presiden tersebut agaknya sulit dihindari, terlebih seperti diungkapkan oleh sekretaris presiden Sudi Silalahi dalam konfrensi pers setelah pertemuan itu bahwa presiden menerima banyak sekali SMS berupa pengaduan, dari masyarakat terutama kaum ibu atas apa yang dilakukan oleh Aa Gym. Bahkan pada saat yang sama kepada wartawan, Menneg PP mengungkapkan, bahwa Presiden menyatakan keprihatinannya dengan kasus yang melibatkan tokoh masyarakat itu. Karena itu, Presiden, kata dia, meminta agar Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990--perubahan atas PP No 10/1983--tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil. Rencananya, revisi PP Perkawinan tak hanya berlaku bagi PNS, tapi juga bagi seluruh warga Indonesia. "Presiden mempunyai moral obligation (terikat secara moral) buat memperhatikan masyarakatnya," kata Meutia. Entah benar atau tidak, ide revisi PP 10/1983 ini, kata Meutia, karena keresahan masyarakat . "Titik tolaknya adalah keresahan masyarakat, terutama perempuan yang merasa tak diperlakukan tidak adil dalam perkawinan," ujarnya, benarkah ?.
Pro kontra yang terjadi awalnya berlangsung masih dalam suasana yang kondusif dan dialogis, namun sayangnya yang belakangan terjadi adalah terkesan semacam “pengadilan” terhadap tokoh “pelaku poligami” yang penilaiannya sudah tidak lagi bersifat obyektif dan terlalu dibesar-besarkan, karena itu wajar jika kemudian banyak orang yang mengnanggap isu poligami ini sebagai sebuah “agenda seting” yang dilakukan sebagai upaya pengalihan dari isu-isu lain tentang ketidakmampuan pemerintah dalam menangani permasalahan rakyatnya, sebut misalnya masalah kelangkaan minyak tanah yang banyak terjadi di daerah, bahkan di beberapa daerah harganya mencapai lima ribu rupiah, atau masalah kenaikan harga beras yang belakangan makin tak terkontrol, belum lagi sejumlah PR (Pekerjaan Rumah) pemerintah lainnya semacam penanggulangan lumpur di Sidoarjo dan kasus pemberanatasan KKN yang saat ini gaungnya seolah kalah oleh isu poligami ini. Setelah beberapa waktu lalu wacana tentang legalisasi praktek aborsi cukup mengundang reaksi banyak orang, nampaknya saat ini isu poligami akan terus mengahangat, terbukti selain ramai diberitakan dalam berbagai media massa, terutama tayangan-tayangan infotaiment dan diskusi-diskusi di televisi, beberapa mahasiswa dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta juga turun ke jalan melakukan demonstrasi mendukung revisi PP 10/1983, sekaligus menolak praktek-praktek poligami yang mereka anggap sebagai bentuk penindasan dan ketidak adilan terhadap kaum perempuan.
Poligami yang dalam bahasa arabnya adalah ta’addud ialah mengawini beberapa wanita dalam waktu yang sama. Drs. Sidi Ghazalba mengatakan bahwa Poligami adalah perkawinan antara seorang laki-laki dengan lebih dari satu orang perempuan, lawannya adalah poliandri, yaitu perkawinan antara seorang perempuan dengan beberapa orang laki-laki (Menghadapi Soal-soal Perkawinan, Jakarta,Pustaka Antara, 1975, hlm. 25.) Sebenarnya poligami itu bukan semata-mata produk agama Islam. Jauh sebelum Islam lahir di tahun 610 masehi, peradaban manusia di penjuru dunia sudah mengenal poligami, menjalankannya dan menjadikannya sebagai bagian utuh dari bentuk kehidupan wajar. Bahkan boleh dibilang bahwa tidak ada peradaban manusia di dunia ini di masa lalu yang tidak mengenal poligami. Lebih jauh lagi, kalau kita buka sejarah umat manusia, sesungguhya peradaban kita sudah mengenal poligami dalam bentuk yang cukup mengerikan dan penuh dengan ketidak adilan. Misalnya, seorang laki-laki bisa saja memiliki bukan hanya 4 isteri, tapi ratusan isteri. Dalam kitab orang Yahudi perjanjian lama, Daud disebutkan memiliki 300 orang isteri, baik yang menjadi isteri resminya maupun yang hanya dijadikan sebagai selirnya. (Dr. Yusuf Al-Qaradawi : Ruang lingkup Aktivitas Wanita Muslimah, hal. 184). Di samping itu sejarah juga mencatat, bahwa poligami, bukan hanya monopoli pemeluk suatu agama tertentu saja. Bukan pula hak istimewa suatu bangsa atau ras tertentu saja.. Pada tahun 1650, pemeluk Kristen di Perancis pernah mendapatkan fatwa, boleh memiliki 2 istri. Pendiri Gereja Mormon, Yoseph Smith dan Brigham Young yang mengaku mendapatkan wahyu baru pada tahun1830, melalui sebuah khotbahnya menganjurkan poligami tanpa batas untuk mengatasi kelebihan jumlah wanita. Karena itu sebenarnya poligami saat ini juga bisa dijadikan sebagai salah satu solusi untuk mengatasi masalah ketimpangan jumlah penduduk antara pria dan wanita di dunia, sebagai contoh Di New York saat ini terdapat kelebihan jumlah wanita , yang sekiranya kaum laki-laki di sana melangsungkan pernikahan, maka masih terdapat 1.000.000 wanita yang “menganggur’ alias tidak bersuami, parahnya lagi di kota ini sepertiga penduduknya melakukan praktek homoseksual (Ahmad Deedat : Muhammed The Greates:t Muhammed The Natural Successor To Christ ; 2003 ; hal : 75). Hal ini seolah membernarkan seorang intelektual barat yaitu Dr. Annie Phizane yang mengatakan ”ketika kita menyaksikan beribu-ribu perempuan terlantar di kota-kota barat, maka dapat dikatakan bahwa mencelan agama Islam yang membolehkan pologami adalah hal yang tidak proporsiaonal” (Dr. Muhammad Fathullah Ziyadi : Perenungan Seputar Isu Permpuan Muslimah : PSW UIN Jakarta ; 2003 ; hal 77)
Bahkan dewan tertinggi gereja Inggris, sampai abad 11 boleh memperlakukan wanita sebagai barang dagangan.Boleh dijual, dipinjam, digadaikan (dan gejala seperti ini secara implisit sebenarnya sedang terjadi di dunia saat ini, di mana wanita dijadikan sebagai “paket” dari barang yang diperdagangkan yang ditampilkan dalam iklan produk-produk tertentu di televisi, dan surat kabar dengan pose-pose yang vulgar, yang anehnya hal ini tak pernah “diurusi” pemerintah dan aktifis perempuan).
Melihat kenyataan yang jelas-jelas merendahkan martabat kaum wanita itu,
maka Islam melalui Nabi Muhammad SAW sebagai Rasulnya, membenahi dan mengadakan penataan terhadap adat istiadat yang benar-benar tidak
mendatangkan kemaslahatan dan meneruskan adat kebiasaan yang menjunjung tinggi martabat manusia, dalam hal ini termasuk masalah poligami yang tidak
terbatas. Islam membolehkan poligami dengan syarat adil. Hal ini demi
menjaga hak dan martabat wanita. Dalam agama Islam dasar hukum poligami disebutkan dalam surat an-Nisa' ayat 3 yang artinya: "Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki yang demikian itu adalah lebih dekat tidak berbuat aniaya."Sebelum turun ayat 3 Surat An-Nisa' diatas, banyak sahabat yang mempunyai isteri lebih dari empat orang, sesudah ada pembatalan paling banyak poligami itu empat, maka Rasulullah memerintahkan kepada sahabat-sahabat yang mempunyai isteri lebih dari empat, untuk menceraikan isteri-isterinya, seperti disebutkan dalam hadits yang artinya: "Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW berkata kepada Ghailan bin Umaiyyah Al saqafy yang waktu masuk Islam mempunyai sepuluh isteri, pilihlah empat di antara mereka dan ceraikanlah yang lainnya." (HR. Nasa'iy dan Daruquthni). Karena itu dalam Islam Poligami yang dilakukan Rasulullah SAW adalah merupakan jalan tengah terbaik dalam upaya menghilangkan budaya jahiliyah yang buruk yaitu beristri banyak bahkan tak terbatas dan memperlakukan wanita sebagai “barang” dagangan yang dapat dibeli dengan mudah selain itu dalm konteks ini sesungguhnya poligami yang dilakukan rasulullah SAW juga menunjukkan besarnya perhatian islam dalam memuliakan wanita terlebih karena untuk melakukan poligami pun seorang laki-laki harus memnuhi syarat mampu berbuat adil terhadap isteri-isterinya, jika tidak, maka ia hanya boleh beristeri seorang dan inipun ia tidak boleh berbuat zhalim terhadap isteri yang seorang itu seperti yang tetuang dalam ayat Alquran di atas. Bahkan banyak hadits-hadits rasullullah SAW yang sangat tegas mengancam kepada siapa saja dari umatnya yang berpoligami tapi tidak bisa berbuat adil kepada istri-istrinya seperti salah satu hadits nabi SAW yang berbunyi “Barangsiapa yang memiliki dua orang istri lalu ia condong pada salahsatunya, maka ia akan datang pada hari kiamat sedangkan bahunya miring.”(HR. Abu Daud (2/242) atau dalam riwayat yang lain Barangsiapa yang memiliki dua orang istri lalu ia condong pada salah satunya, maka ia akan datang pada hari kiamat dengan setengah badannya copot/hilang”.
Dalam perspektif barat (saat ini) praktek poligami jelas adalah sesuatu yang haram dan tak boleh dilakukan karena dianggap sebagai bentuk ketidak adilan terhadap perempuan, padahal pligami juga bisa dijadikan sebagai salah satu solusi namun anehnya, sistem hukum dan moral mereka malah membolehkan perzinahan, homoseksual, lesbianisme dan gonta ganti pasangan suami isteri, dan termasuk di dalamnya adalah dilegalkannya praktek prostitusi, padahal sudah menjadi fakta bahwa hingga hari ini bahwa praktek-praktek semacam inilah yang menyebabkan tersebarnya penyakit kelamin semacam AIDS-data terakhir menunjukkan bahwa 75-80 persen penularan virus HIV AIDS disebabkan oleh hubungan sex yang tidak aman dan 5-10 persen di antaranya melalui hubungan homoseksual. Dengan kondisi seperti ini, maka sesungguhnya yang pemerintah harus lakukan saat ini adalah penanganan dan penanggualngan penyakit-penyakit masyarakat seperti yang telah disebutkan di atas, apakah dengan membuka lapangan pekerjaan bagi para PSK, penguatan nillai-nilai moral agama pada masyarakat juga membuat undang-undang (UU) yang mengatur/melarang segala bentuk eksploitasi wanita yang saat ini banyak terjadi terutama di televisi, baik lewat film, sinetron, iklan, yang secara vulgar mensubordinasikan perempuan sebagai objek seksual kaum laki-laiki. yang anehnya hal ini tak pernah “diurusi” dan seolah luput dari perhatian pemerintah dan aktifis perempuan.
Atas dasar itu upaya pemerintah untuk merevisi PP No 10/1983--tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil, adalah sesuatu yang terlalu dipaksakan dan tak perlu dilakukan. Alasannya adalah pertama seperti yang telah disebutkan bahwa Poligami dengan segala penafsirannya bagi sebagian orang adalah sebuah keyakinan agama yang suka atau tidak suka meski dengan persyaratan yang sangat ketat ada dalam ajaran agama (Islam), karena itu siapapun tidak berhak memaksakan satu penafsiran tertentu kepada orang lain, jika hal tersebut dilakukan maka sesungguhnya pemerintah telah melakukan intervensi terhadap wilayah privat yaitu masyarakatnya.
Kedua, yang perlu dilakukan pemerintah untuk menangani maslah ini adalah dengan mengoptimalkan dengan melaksanakan produk hukum yang telah ada misalnya dengan Undang-Undang Kekerasan Dalam rumah Tangg (UU KDRT), misalnya jika ada sebuah keluraga yang berpoligami kemudaian salah satu istrinya merasa dilakukan tidak adil atau merasa ditelantarkan oleh suami baik secara lahir (materi) maupun batin (psikologis), maka pelaku yaitu suami bisa dijerat dengan pasal 7 atau pasal 9 UU KDRT, sehingga pelakunya bisa diseret ke pengadilan atas ketidakadilan yang dilakukannya.
Karena itu jika pemerintah mampu mengoptimalkan perangkat hukum yang sudah ada dengan menjadikannya tidak hanya sebagai sebagai ”teks undang-undang” tapi diikuti jug dengan aplikasinya di lapangan, maka sesungguhnya tindak kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangga bisa ditangani, tanpa harus melanggar hak privat masyarakat. Di samping itu, sulit rasanya membayangkan jika revisi atas PP No 10/1983 jadi dilakukan, berapa banyak ustadz atau para kyai (umumnya ulama NU) di daerah yang akan masuk penjara karena melakukan poligami yang dianggap sebagai tindakan kriminal, ironisnya di penjara mereka akan berkumpul bersama para pelaku kriminalitas seperti koruptor, pencuri, pembunuh dan penjahat kriminal lainnya, sementara para pelaku perzinahan, perselingkuhan, prostituisi, homoseksual, dan lesbian bebas berkeliaran di jalan raya. Akankah polemik ini terus berlangsung ? Wallahu A’alam
posted by zAeN@L tHea .... at 11:14 AM 0 comments