mY_ReFLeCtion

Sunday, July 09, 2006

KeJaMnYa SePaKbOlA

Sebulan sudah publik penggemar sepakbola dunia disuguhi pertandingan-pertandingan sepakbola mutakhir dalam Piala Dunia 2006 di Jerman. Di Indonesia penggemar rela begadang tiap malam demi menyaksikan pertandingan-pertandingan yang sudah dijadwalkan.

Untuk lebih menikmati suasana sesungguhnya, berbagai tempat di lapangan RT, kafe, dan restoran menyediakan monitor besar untuk nonton bareng. Selama sebulan masyarakat bisa belajar banyak tentang olahraga yang paling banyak penggemarnya itu, bagaimana bermain bola yang indah.

Namun di balik glamour-nya Piala Dunia 2006, sifat ego, antiras, dan pembunuhan muncul dari sepakbola. Ini bisa terjadi karena sifat dasar manusia yang selalu ingin menang sendiri menjadi dominan, cita-cita menjadi nomer satu dan selalu unggul dalam moment ini harus tercapai dan terpenuhi. Kita tidak tahu kenapa events seperti Piala Dunia memiliki daya tarik yang sangat kuat. Dalam events Piala Dunia semua orang terlibat tanpa pandang etnis, warna kulit, dan ras. Semua boleh berpartisipasi tanpa pandang bulu.

Kalau pun ada negara yang tidak memperoleh tiket ke putaran final, mereka masih bisa berpartisipasi dengan menjadi salah satu pendukung dari tim yang dipujanya, dan anehnya seolah-olah mereka menjadi bagian dari warga negara tim yang didukung. Tak heran bila hajatan Piala Dunia menjadi hajatan bersama manusia di seluruh dunia.

Memabukan semua
Prestise yang sangat tinggi dari Piala Dunia membius dan memabukan semua orang. Dari sinilah maka sifat-sifat ego, antiras, dan pembunuhan bisa terjadi. Kekalahan dalam pertandingan direspon dengan emosional dan menyalahkan orang lain.

Lihat saja selepas pertandingan antara Portugal dan Inggris. Berbagai tuduhan dan kesalahan ditujukkan kepada pemain Inggris Wayne Rooney, wasit Horacio Elizondo, dan pemain Portugal Cristian Ronaldo. Bahkan di antara ketiga orang itu, Rooney dan Ronaldo, timbul konflik. Padahal di klub profesional mereka adalah rekan.

Dalam pertandingan antara Inggris dan Portugal, Rooney memang berkonflik dengan Ronaldo. Diduga Ronaldo mendekati dan menyarankan kepada Horacio Elizondo untuk mengeluarkan kartu merah. Konflik itu membuat masa depan Ronaldo tamat. Ia merasa dibenci oleh rekan-rekannya di MU dan publik Inggris karena berbagai alasan tadi.

Konflik usai pertandingan pun erjadi antara Jerman dan Argetina. Pemain Argetina tentu tidak menerima dengan kekalahan tersebut. Ujung-ujungnya, emosi pemain dan menyalahkan orang lain pun terjadi. Pemain cadangan Argetina, Leandro Cufre dan Maxi Rodrigues, menjadi biang kerusuhan antara official dan pemain, Jerman dan Argetina. Disebut Cufre menendang pemain Jerman, Per Mertesacker, usai adu pinalti.

Tidak hanya itu, selepas hasil pertandingan, baik babak yang menentukan atau penyisihan, banyak orang menjadi 'terpidana'. Banyak pelatih yang dipecat jika kesebelasannya tidak mampu menjadi pemenang.

Kekalahan Brasil dari Perancis ikut membawa petaka sendiri bagi pemainnya. Selain dihujat oleh pendukungnya, banyak teror lain yang ditujukan kepada para pemain Brasil. Patung Ronaldinho di Chapeco di Santa Catarina dibakar oleh warga kota itu akibat kekalahan Brasil dalam per empat final. Padahal patung yang dibangun pada 2004 itu dibangun sebagai wujud penghargaan masyarakat kepada Ronaldinho setelah menjadi pahlawan dalam merebut Piala Dunia 2004.

Sepakbola sebagai budaya semua bangsa juga menyisakan pertikaian dan pembunuhan. Sekelompok warga Kenya pendukung kesebelasan Prancis membunuh seorang pemuda pendukung Brasil. Kejadian itu berlangsung saat para pendukung Perancis sedang pulang dari acara nonton bareng. Anehnya, bukan terjadi di Brasil atau Prancis, tetapi di suatu negara yang jaraknya dengan Brasil dan Perancis sangat jauh.

Menurut catatan, sekitar 50 orang meninggal setelah menonton pertandingan piala dunia. Mereka kelelahan karena menonton sepakbola pada dini hari, minum berlebihan, dan pergi keluar rumah dalam suhu yang sangat dingin. Di China tercatat 11 orang meninggal seusai menonton pertandingan Piala Dunia. Di negara itu pula, di Kota Chengdu, seorang perempuan tewas karena melompat dari lantai 17 setelah berselisih soal hasil pertandingan sepakbola.

Menjadi 'agama'
Piala Dunia memang menjadi prestise sendiri bagi umat manusia, walaupun ada Piala Eropa, Copa Amerika, Piala Asia, Piala Afrika, namun events itu tidak mampu menggeser Piala Dunia. Menjadi juara dalam Piala Dunia mungkin menunjukkan bahwa bangsanya menjadi bangsa super, bangsa nomer satu di dunia. Dari sinilah tak heran bila segala upaya dilakukan.

Saat Piala Dunia sepakbola menjadi sebuah 'agama', Maradona pernah mengatakan 'Tangan Tuhan' dan 'Pasukan Tuhan' saat Piala Dunia 1986 dan 1990. Sepakbola sebagai 'agama' mampu membuat orang mau melakukan apa saja, dari teror sampai pembunuhan yang dilandasi oleh 'nilai-nilai' harus menang di setiap pertandingan sepakbola.

Kita tidak tahu apa yang akan terjadi terhadap nasib sepakbola jika kematian, antiras, dan kebencian muncul dari olahraga yang paling banyak digemari ini. Kalau semua kesebelasan ingin menang, itu iya dan pasti. Tetapi yang perlu kita perhatikan di sini adalah sportivitas dan menerima hasil dengan sportif pula itu yang harus dipegang.

Jika sikap selalu ingin menang sendiri, tanpa memperhatikan sportivitas yang dipegang oleh semua orang, tentu akan menyebabkan hubungan antarmanusia menjadi tidak harmonis. Mungkin kita harus menciptakan olahraga lain yang massal, murah, dan meriah.

Republika.co.id
Sabtu, 08 Juli 2006
posted by zAeN@L tHea .... at 6:57 PM

0 Comments:

Post a Comment

<< Home