mY_ReFLeCtion

Friday, May 19, 2006

TV ; musuh dalam keluarga


Televisi Lokal, dan Ancaman Cultural Crisis"

Maraknya perkembangan industri pertelevisian Indonesia saat ini patut disambut gembira, terlebih kini dengan mulai menjamurnya stasiun telivisi swasta yang berskala lokal, seperti Bali TV, Jawa TV, O Channel dan Jak TV.

Menjamurnya beragam saluran televisi swasta baik yang berskala nasional maupun lokal, menunjukkan semakin terbukanya akses publik untuk memperoleh dan mendapatkan informasi, terlebih dalam era otonomi daerah seperti saat ini, keberadaan media lokal seperti televisi koran dan radio menjadi hal yang sangat diperlykan keveradaannya, karena dapat menjadi media penghubung antara rakyat para pemimpinnya, untuk menyampaikan aspirasinya sekaligus rakyat dapat mengintrol dan menilai kinerja para pemimpinnya secara transparan, sehingga tercipta sebuah pendidikan demokrasi yang baik bagi masyarakat melalui media massa..
Selain itu semakin banyaknya saluran televisi juga semakin menunjukan adanya kebebasan pers sebagai salah satu pilar demokrasi, hal ini tentu berbalik 180 derajat dengan kondisi pada masa orde baru, di mana pers (Surat kabar, radio, termasuk, televisi) hanya dijadikan sebagai “corong” pemerintah untuk menyampaikan kepentingan-kepentingan politiknya ke pada masyarakat, yang dibungkus dengan istilah yang sangat khas bagi bagi dunia pers saat itu, yaitu, pers yang “bebas dan bertanggung jawab”, yang artimya bebas menyampaikan berita asal tidak bertentangan dengan segala kepentingan pemerintah, maka dengan sistem regulasi pers yang ketat seperti ini kemudian lahirlah koran-koran, majalah, dan televisi yang ambigu, semu dan “patuh pada penguasa”, karena satu kali saja pers mengkritisi kebijakan pemerintah, maka tak lama seteleh berita itu dimuat, bisa dipastikan koran atau majalah tersebut akan segera “menemui ajalnya” dibredel oleh pemerintah dengan dicabutnya SIUPP (Surat Izin Usaha Peneritan Pers) dari koran atau majalah yang bersangkutan, hal seperti ini misalnya pernah dialami oleh koran Kompas yang dibredel pada 25 Januari 1978 karena pemberitaannya dianggap merongrong dan dianggap sebagai salah satu koran anti pemerintah, meski pembredelan ini tidak berlangsung lama, dan pada 5 Februari masih ditahun yang sama Kompas mendapatkan kembali ijin terbitmya setelah “berjanji” untuk taat dan patuh kepada pemerintahan saat itu.

Saat ini kondisi pers Indonesia tentu jauh lebih baik (meski tak sedikit yang kebablasan), karena itu marakanya industri pertelevisian Indonesia yang sedang berlangsung saat ini sangat bisa dipahami. Namun berbeda dengan pada masa lalu, di mana pembredelan terhadap media melalui SIUPP menjadi ancaman serius bagi dunia pers, maka saat ini kondisnya menjadi terbalik, kekhawatiran-kekhawatiran justru datang dari masyarakat mulai dari para orang tua, pendidik, dan kaum, agamawan, hingga para kritikus budaya, yang mengkhawatirkan akan adanya Cultural Crisis (Krisis Budaya), dan televisi menjadi salah satu “agen” utama dalam menyebarkan negative culture tersebut melalui tayangan-tayangan yang misalnya secara vulgar mempertontonkan tindak kekerasan, porno aksi, dan pornogarfi. Bahkan Kuntowijoyo mengatakan bahwa ancaman nasionalisme (di mana salah satu unsurnya adalah kebudayaan) di Indonesia saat ini sudah mengancam “nasionalisme piring” kita melalui budaya makan (culibary culture), di mana saat ini masyarakat Indonesia sudah banyak yanng lebihy menyukai produk makanan barat, seperti pizza, burger, dan hotdog, hal ini tentu saja menyatu dengan budaya konsumerisme yang menghinggapi masyarakat kita yang diserbu oleh ratusan bahkan ribuan iklan berbagai macam produk mulai dari elektronik hingga sabun mandi yang setiap detik hadir melalu media massa, hingga tek heran jika saat ini banyak kita temui anak-anak sekolah yang sepulang sekolah pergi ke mal-mal untuk berbelanja atau hanya sekedar untuk nongkrong saja, budaya semacam ini tentu saja lambat laun akan membuat Indonesia yang sedang “sakit” ini semakin semaikin terpuruk.

Pakar Komunikasi Effendi Ghozali sebuah artikelnya di harian Kompas edisi Rabu 24 Agustus 2005 menulis bahwa dalam industri televisi terdapat tiga golongan insan televisi, yang pertama golongan saudagar yaitu para konglomerat yang memiliki banyak modal untuk menjalankan industri televisi, kedua adalah golongan pekerja yang ibarat pembantu mengerjakan “apa maunya si bos”, dan golongan yang terkahir adalah apa yang diistilahkan sebagai “kaum gelisahwan”, yang diartikan sebagai mereka yang merasa resah gelisah (khawatir) dengan tayangan-tayangan yang ada di televisi, dan berpikir mau dibawa ke mana bangsa ini dengan tayangan-tayangan televisi seperti saat ini.
Seperti kita ketahui bahwa saat ini diakui atau tidak, bahwa industri televisi lebih banyak dikendalikan oleh para “saudagar” yang hanya ingin secepatnya kembali modal dan selanjutnya mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya, tanpa memperhatikan seperti apa dan bagaimana tayangan yang di sajikan kepada masyarakat di layar kaca, dan mereka tak lagi memikirkan dampak poaitif dan negatif yang ditimbulkan oleh tayangan yang mereka sajikan kepada masyarakat. Bagi mereka tak ada kamus lain, selain bagaimana caranya sebuah acara dapat memiliki rating yang tinggi dengan harapan akan memperoleh pemasukan iklan yang banyak, dan dengan iklan yang semakin banyak pula keuntungan yang mereka dapatkan, istilah rating is god menjadi slogan yang sangat pas bagi mereka kaum kapitalis dalam industri pertelevisian Indonesia saat ini, dalam konteks seperti ini televisi hanya menjadi alat “tekno kapitalis” , yang tak lebih hanya dijadikan sebagai mesin pencetak uang.
Dengan paradigma seperti ini maka lahirlah tayangan-tayangan yang tidak mendidik (uneducated), kekerasan yang secara vulgar mempertontonkan darah lewat tayangan kriminal dan film-film action, film-film mistik yang menjual hantu jin dan genderewo, sampai kisah para pemburu hantu, ditambah lagi acara-acara gosip-gosip murahan yang dibungkus dengan istilah infotainment sedang marak saat ini, di mana para selebritis menjadi tokoh (obyek?) utamanya, belum lagi sinetron-sinetron (terutama sinetron remaja) yang pada umumnya hanya melulu mengajarkan percintaan, gaya hidup bebas dan glamour, yang nyaris tak ada nilai moral yang dapat ditiru, dan tentu saja sinetron-sinetron tersebut lepas dari konteks sosial kehidupan yang sesungguhnya dari remaja dan anak-anak Indonesia Indonesia kebanyakan, yang jangankan untuk bersekolah untuk mencari makan sekali saja mereka harus banting tulang dari pagi hingga sore hari di jalanan, belum lagi ratusan ribu bahkan juataan anak-anak dan remaja lainnya yang terpaksa harus mengubur impiannya untuk melanjutkan sekolah karena terputus di tengah jalan akibat tidak adanya biaya untuk itu. Ironisnya memang tayangan-tayangan seperti ini banyak di minati oleh masyarakat kita, sehingga tak aneh jika banyak masyarakat kita yang menghabiskan waktunya di depan televisi untuk menonton aacara-acara tersebut.

Kondisi seperti ini tentu saja tidak boleh dibiarkan terus menerus karena akan merusak budaya dan etos hidup masyarakat kita, karena itu ada beberapa hal yang perlu segera dilakuakan, pertama KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) selaku lembaga Independen yang bertugas mengawasi segala bentuk tayangan dan acara televisi agar lebih tegas menegur dan segera menindak stasiun televisi yang dianggap menayangkan acara-acara yang tidak mendidik dan tidak sesuai dengan budaya dan norma-norma di dalam masyarakat indonesia, karena walaubagaimanapun masyarakat lah yang akan menjadi sasaran sekaligus menjadi koraban utama dari tayangan-tayangan yang tidak mendidik tersebut. Kedua, Pemerintah khususnya kementrian Komunikasi dan Informasi dan Dewan Perwakilan rakyat harus bekerja sama secara sinergis agar dapat menciptakan RUU Penyiaranyang benar-benar bebas dan bertanggung jawab dan melakukan regulasi penyiaran yang demokratis dan menjadikan pendidikan buidaya dan moral bangsa sebagai acuan dalam mengatur regulasi setiap berita, dan tayangan televisi. Ketiga masyarakat sebagai viewers (penonton) harus menjadi apa yang dalam banyak teori komunikasi sebagai massa yang aktif dan selektif (Active and Selective Audiens) yang dapat secara bijak memilih dan memilah informasi dan tayangan-tayangan di televisi yang diinginkan sehingga, bukan sebaliknya menjadi masa yang pasif (Passive Audiens), yang dikendalikan oleh apa yang ditayangkan di televisi tanpa mempertimbangkan dampak positif dan negatif yang akan ditimbulkannya, “Andalah yang mengendalikan remote TV, bukan remote yang mengendalikan anda”.
Kepada semua korporasi yang akan memasang iklan di stasiun televisi, hendaknya lebih selektif dalam memilih acara apa yang ingin kita pasangi iklan jangan hanya beriklan pada acara yabbg berrating tinggi tapi tidak berkualitas dan tidak mendidik, bahkan jika perlu korporasi-korporasi bisnis (perusahaan) yang biasa beriklan di televisi berkomitmen bersama untuk tidak memasang iklan di stasiun televisi yang menayangkan program-program-kekersaan, pornografi, mistik dan program-program televisi yang tidak mendidik.
Bagi para pemilik dan pengelola industru televisi jadikan pendidikan dan moral sebagai “paradigma” dalam membangun bangsa dengan menayangkan acara-acara televisi yang tidak saja memberikan hiburan, tetapi juga mendidik bangsa ini menjadi bangsa yang demokratis memiliki etos kerja yang tinggi dan berkebudayaan yang luhur, sehingga televisi tidak menjadi “musuh dalam keluarga” yang setiap detik mengancam kebudayaan kita.
Wallahu a’alam.
posted by zAeN@L tHea .... at 2:37 PM

0 Comments:

Post a Comment

<< Home