mY_ReFLeCtion

Friday, January 19, 2007

"met TaoN BARU BRo !"


Hijrah sebelum Hijrah

Oleh :

A Riawan Amin
Dewan Pakar ICMI

Di penghujung tahun 1427 Hijriyah, kita seperti tak putus dirundung malang. Musibah demi musibah silih berganti. Dari kapal karam hingga pesawat hilang, dari lumpur panas hingga banjir bandang, dari longsor hingga gempa, dari demam berdarah hingga flu burung. Sayang, semua musibah ini cenderung hanya ditanggapi sebatas bencana, bukan peringatan.

Yang pertama menyiratkan konsekuensi alamiah, sebab-akibat. Hutan dibabat, banjir dan longsor dituai. Tak laik jalan (karena kondisi mesin atau cuaca buruk), tapi dipaksa terbang atau berlayar, kecelakaan didapat. Korban bertebaran. Isak tangis pun tak terelakkan. Sudah bagus ada bantuan datang. Ada upaya evakuasi menemukan korban. Namun, apakah ini cukup?

Kalau musibah dianggap sebagai peringatan, tentu tidak. Bahwa ada kepastian alamiah sebagai konsekuensi keserakahan manusia mengelola alam yang berbuah bencana, itu mudah dicerna. Bahwa ada keteledoran atas nama mengeruk keuntungan sesaat, itu juga mudah diterima. Namun, melihat sebatas itu hanya akan berhenti pada upaya instan: mencari tahu sebab, setelah itu dilupakan. Bukan memetik hikmah dari kejadian yang lalu ditransformasikan dalam bentuk pencegahan. Dan, lebih dari itu meningkatkan kesetiakawanan dan persaudaraan sebagai perwujudan dari rasa tanggung jawab dan pengabdian.

Memperbarui kesaksian
Dalam kaitan ini, momentum pergantian tahun baru 1928 Hijriyah, semestinya menjadi tonggak perubahan. Berubah dari paradigma mengeruk sebesar-besar keuntungan sesaat (dunia), kepada keuntungan yang selaras dengan komitmen jangka panjang (akhirat). Berbenah dari perusakan dan eksploitasi alam, kepada konservasi dan pemanfaatan yang seimbang. Berubah dari masa bodoh nasib orang kepada kepedulian dan kebersamaan.

Esensi hijrah yang dilakukan Nabi Muhammad SAW, bukan sekadar pindah (dari satu tempat ke tempat lain), tapi mengubah tatanan perilaku jahiliyyah ke Islamiyyah. Inilah yang disebut Ibn Qoyyim sebagai hijrah haqiqiyyah (hijrah sejati). Menghambakan semua tujuan dan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Bukan memuaskannya kepada kepentingan comber dan rendah.

Perubahan besar tidak diawali dari luar, tapi dari dalam diri. Diawali dari alam spiritual kita. Stephen Covey dalam Seven Habits, menulis, everything is created twice (segala sesuatu diciptakan dua kali). Sebelum tercipta di alam fisik, ia terlebih dulu telah diolah dalam alam pikir. Gubahan musik yang indah, terlebih dulu mampir di otak komposernya. Produk fashion yang gemerlap, terlebih dulu diolah dalam pikiran desainernya. Begitu pentingnya alam spiritual itu, sehingga perubahan yang fundamental dalam perilaku bangsa ini semestinya juga dimulai dari alam pikiran. Yang paling dasar, bisa dilakukan dengan memperbarui kesaksian. Untuk menjadi seorang Muslim, seseorang perlu membaca syahadat (kesaksian) bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul-Nya. Yang diminta di sini bukan saya 'berkata', tapi saya 'bersaksi'. Kalau yang pertama hanyalah bunyi verbal yang tak beda dengan lenguhan lembu, yang kedua adalah sumpah yang perlu pembuktian.

Inilah yang sebenarnya harus perbarui. Yakni dengan menggerakkan dimensi spiritual melalui meruwat syahadat. Bukan lagi sekadar pernyataan, tapi sumpah, bahkan baiat. Bahwa segala tindakan dan perilaku sepenuhnya hanya untuk ketaatan kepada Allah. Ketika seseorang bekerja, kerja dia untuk ibadah. Kalau ia seorang PNS, maka tidak perlu lagi 'uang jasa' karena ia sudah digaji. Mengambil yang bukan menjadi hak, apalagi memeras, sudah melanggar syahadatnya. Kalau ia pengusaha, maka sogokan untuk memuluskan proyek, juga sudah melupakan syahadat. Bahkan kalau ia mahasiswa, menyontek pun masuk kategori ini.

Memperbaiki dan memperbarui syahadat tak pelak adalah gerak awal sebelum ia bisa melakukan perubahan yang lebih besar. Inilah 'hijrah' sebelum hijrah. Mengubah dan memperbaiki diri sebelum mengubah masyarakat. Perubahan fundamental secara personal tidak akan pernah terjadi kalau keyakinan dan keimanan yang ia tancapkan melalui syahadat hanya janji di bibir, bukan sumpah yang menembus relung hati.

Gerbang kebangkitan
Dalam aplikasi kenegaraan, seorang Muslim yang benar syahadatnya, semestinya menjadi tonggak mengantarkan ke gerbang kebangkitan. Selama 11 tahun di Makkah, Rasulullah begitu hebat ditentang. Pengikut Rasulullah dimusuhi dan dikucilkan. Namun, mereka tak surut. Mereka rela meninggalkan kemapanan, harta benda, kewibawaan, bahkan keluarga yang dicintai, untuk hijrah ke Madinah demi meraih cinta Allah dan utusan-Nya. Di kota Nabi inilah gerbang kebangkitan dibangun. Kesetiakawanan dan kebersamaan ditunjukkan oleh para Anshar, penduduk setempat, dalam menyambut kaum muhajirin Makkah. Dengan membagi rumah, harta, dan perniagaan. Ikatan Islam melebihi pertalian saudara sedarah. Itulah yang menjadi modal besar ketika mereka melakukan penaklukan Makkah.

Di negeri ini, kesetiakawanan tinggal jargon dan menjadi barang mahal. Ketika begitu banyak musibah menimpa, para wakil rakyat sibuk mengurus kenaikan gaji dan tunjangannya. Eksekutifnya lebih suka menebar pesona daripada kerja nyata. Yang kaya, bermewah dari pesta ke pesta. Yang miskin, kurang prihatin dan manja. Semangatnya mempertahankan kenyamanan pribadi (comfort zone), bukan berbagi (sharing).

Namun di atas semua itu, kemiskinan mental menjadi raja. Yang berkuasa, mentalitasnya hanya agar dapat dipilih kembali. Yang jelata, berebut disebut miskin untuk mendapatkan santunan. Praktis, kemiskinan tidak akan pernah hilang. Kebangkitan tidak akan pernah tegak. Mentalitas miskin menjadi etos. Impian kemandirian semakin jauh. Ketergantungan semakin membayang dan menguat.

Kita lebih takut ditinggalkan investor daripada takut kepada Allah. Kita mengikuti permainan ekonomi mereka, daripada cara ekonomi Allah. Lembaga donor asing kita sembah. Ekonomi syariah kita ludahi.

Kalau ini terus kita pertahankan, lonceng kematian tinggal menunggu waktu. Kecuali, kita kembali ke titik nol. Kembali bersaksi dan memperbaiki kualitas syahadat. Bahwa hidup, mati, ibadah, hanya untuk Allah. Barulah kebangkitan yang dibangun dari semangat berkorban dan kesetiakawanan menjadi perekat erat kejayaan. Insya Allah.

Ikhtisar
* Pergantian tahun baru 1928 Hijriyah, semestinya menjadi tonggak perubahan.
* Perubahan besar tidak diawali dari luar, tapi dari dalam diri dan diawali dari alam spiritual.
* Esensi hijrah yang dilakukan Nabi Muhammad SAW mengubah tatanan perilaku jahiliyyah ke Islamiyyah.
* Memperbaiki dan memperbarui syahadat menjadi gerak awal sebelum melakukan perubahan yang lebih besar.
posted by zAeN@L tHea .... at 5:08 PM

0 Comments:

Post a Comment

<< Home